PENYAKIT hepatitis B adalah jenis penyakit yang tidak menunjukkan gejala berarti. Tak heran bila para penderitanya sama sekali tidak menyadari kalau
MASYARAKAT selama ini begitu akrab dengan istilah HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang dikenal sangat berbahaya karena menimbulkan kematian bagi pengidapnya. Namun, tak banyak orang tahu bahwa selain HIV, ada virus yang tak kalah berbahaya dan bahkan jauh lebih infeksi, yakni virus Hepatitis B.
Seperti diungkap Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dr Unggul Budihusodo SpPD-KGEH, virus hepatitis B adalah virus yang patut diwaspadai karena 100 kali lebih infeksi ketimbang HIV dan 10 kali lebih mudah menginfeksi dari hepatitis C. "Di dunia, jumlah pengidap hepatitis B kronik diperkirakan sekitar 250 juta dan penderita hepatitis C sekitar 150 juta. Sedangkan penderita HIV tidak sampai separuhnya atau kurang lebih sekitar 100 juta orang," kata dr Unggul di Jakarta, Selasa, (17/6).
Ia menambahkan, virus hepatitis C sebenarnya tak kalah menakutkan dari HIV mengingat masalah yang ditimbulkan virus ini jauh lebih besar. Namun, karena gaung HIV yang lebih besar, kesadaran masyarakat akan ancaman virus ini masih rendah. "Ini tidak lepas dari fakta bahwa berita-berita HIV sering di-blow-up oleh media massa ketimbang hepatitis B atau hepatitis C," ungkapnya.
Dari sisi ancaman bagi kesehatan, dr Unggul menjelaskan, HIV dan hepatitis B tidak jauh berbeda. Penyakit akibat virus HIV dan hepatitis B adalah dua jenis yang hingga saat ini belum bisa disembuhkan secara total.
"Bila seseorang terkena penyakit ini, biasanya harus meminum obat seumur hidup untuk mengatasinya, sedangkan sebagian besar pasien hepatitis C sudah bisa disembuhkan secara total dengan pengobatan tertentu," ujarnya.
Selain itu, hal yang patut diwaspadai dari hepatitis B adalah penyakit ini merupakan penyebab utama terjadinya kanker hati bersama dengan hepatitis C. "Sekitar 90 persen pasien penderita kanker hati adalah juga penderita hepatitis B atau C," ungkapnya.
Di Indonesia, lanjut dr Unggul, prevalensi penularan hepatitis B termasuk tertinggi di dunia bersama negera-negara Asia Pasifik lainnya. "Prevalensi infeksi hepatitis kronik di Indonesia rata-rata mencapai 5-10 persen dari total jumlah penduduk," ujarnya.
PENYAKIT hepatitis B adalah jenis penyakit yang tidak menunjukkan gejala berarti. Tak heran bila para penderitanya sama sekali tidak menyadari kalau dirinya telah menderita hepatitis B bahkan bila sudah dalam kondisi kronis sekalipun.
"Yang paling sering ditemukan memang tanpa gejala. Banyak sekali pasien yang kita obati tidak tahu kalau dirinya sudah sakit. Beruntung kalau ada pasien yang rajin atau sadar melakukan check-up setiap tahun. Dengan penanganan sejak dini, kemungkinannya untuk menjadi kronis tentu bisa dikurangi," ungkap Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) dr. Unggul Budihusodo, Sp.PD-KGEH di Jakarta, Selasa (17/6).
Ditegaskan dr Unggul, memang sulit untuk menentukan apakah seseorang menderita hepatitis B hanya dari gejalanya. Tentu yang paling valid adalah berdasarkan hasil pemeriksaan darah di laboratorium.
Namun begitu, ada gejala-gejala yang mungkin hadir pada pendeita meskipun tidak selalu muncul. "Gejala-gejala yang mungkin ada seperti kelelahan, penurunan nafsu makan, demam, diare, perubahan warna urin dan feses, mata dan warna kulit yang tampak menguning," papar dr Unggul yang sehari-hari berkantordi Divisi Hepatologi Departemen Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta .
Ia menambahkan, seseorang akan dinyatakan positif mengalami hepatitis B oleh dokter bila telah menjalani serangkaian pemeriksaan secara klinis di laboratorium. Dokter biasanya akan mempertimbangkan sejumlah indikator seperti HBsAg positif (antigen yang menandakan adanya infeksi) atau kenaikan enzim hati (SGOT dan SGPT).
"Dari hasil pemeriksaan nanti, dokter kemudian akan menentukan apakah infeksi ini perlu diobati atau tidak. Sebagai contoh, tidak semua yang memiliki HBsAg positif akan diobati karena harus dilihat dulu dari kelompok mana dan harus dilihat faktor lain yang menyebabkannya," jelas dr Unggul.
Sementara itu, seseorang akan dinyatakan mengidap hepatisis B kronik bila ia sudah menderita atau mengidap infeksi selama lebih dari enam bulan. Diagnosa juga didasarkan pada adanya HBV DNA (indikasi replikasi virus aktif) dalam serum, kenaikan enzim hati, bukti histologis serta hasil USG yang menunjukkan proses peradangan hati.
Saat ini, pengobatan hepatiitis B tersedia dalam bentuk oral dan injeksi. Untuk pengobatan oral, pasien sepanjang hidupnya harus meminum obat yang mengganggu kemampuan virus untuk bereplikasi dan menginfeksi sel-sel hati lebih banyak lagi. Di Indonesia, tersedia 4 jenis obat oral yang mendapat lisensi FDA, yakni Entecavir, Lamivudine, Adefovir dan Telbivudine. Sedangkan melalui injeksi, pasien akan diberi interferon atau senyawa sistesis yang menyerupai zat yang dihasilkan tubuh untuk mengatasi infeksi.